Legenda Koepang bukanlah sebuah
cerita fantasi atau dongeng pengantar tidur yang biasa dilakukan untuk
anak-anak kecil di kampung. Akan tetapi koepang tempo doeloe adalah sebuah
legenda bermakna sejarah karena peristiwa-peristiwa yang dialami penduduk pemula
disuatu lokasi negeri yang sepi diliputi hutan belukar adalah sebuah peristiwa
sejarah yang berproses dari masa ke masa sampai terbentuknya nama koepang.
Negeri yang sepi tersebut, awalnya hanya terdapat dua kampung tradisional
yaitu kampung kaisalun dan kampung Bani Baun. Kedua kampung itu dihuni
oleh sekelompok orang bersama pemimpin adatnya yang mengaku sebagai suku bangsa
helong yang datang dari negeri seberang laut. Kata Helong berasal dari dua suku
kata, kata He yang berarti “Jual” dan kata Lo yang berarti “Tidak”. Jika
digabung berarti Tidak Jual. Pengertian umumnya yaitu pengorbanan atau rela
berkorban. Falsalah hidup Helong dari leluhurnya, bersedia berkorban dan tidak
rela diganggu oleh lingkungannya dan mereka akan berbalik membalas kalau sampai
diganggu.
Data lain menyebutkan bahwa Timor
telah dihuni manusia sejak 13.500 tahun silam, oleh sekelompok kecil penduduk ,
hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Sekurang-kurangnya terdapat
dua kelompok yang mendarat di pulau Timor yaitu kelompok etnik berbahasa Tetun,
Dawan dan Buna mendarat di pantai selatan pulau Timor dan kelompok etnik
berbahasa Helong mendarat di ujung Timur pulau Timor, daratan yang luas itu
oleh para leluhur orang Helong menamakannya Nusa Timu. Terdapat tiga tempat
yang sangat berkesan ketika para leluhur Helong menemukan Nusa Timu. Tempat itu
dijadikan lambang abadi yakni ; Bandar Tutuala (Tutu-fala) dan pulau La-Co
(La-Kon). Di tempat tersebut terpatrei motto : PENGORBANAN , PERMUSYAWARATAN ,
DAN PENGABDIAN. Motto ini menjadi falsafah hidup peninggalan nenek moyang orang
Helong.
Kelompok Satu berjumlah sebelas
kepala keluarga yaitu Nuh-Natun; Lai-Kait; Lai-Daat; Lai-Lopo; Siki-Timu;
Lisi-Lena; Lisi-Laihulu; Kla-Peka; Lai Biti; Lai Nai Sono dan Lai-Nusa.
Kelompok satu dibawah pimpinan Lai-Kait. Ada saat pelepasan kelompok karena
jurusan atau route yang ditempuh berbeda maka oleh raja Helong dibuat acara
pelepasan yang disebut “SAO” artinya melepas pergi atau berpisah. Tempat
diadakan acara pelepasan berdekatan dengan sumber mata air, sehingga lokasi
tersebut diberi nama “Ui-Sao”; Ui berarti air ; Sao berarti melepas pergi
(berpisah). Penyebutan air menurut bahasa Helong yaitu Ui namun karna pengaruh
bahasa Rote menjadi Oe sehingga nama tempat itu dikenal dengan nama Oesao.
Kelompok satu berjalan lewat tanah datar arah matahari terbenam yakni dari
Uisao tiba disuatu lokasi untuk mencari minum. Mereka membuat alat untuk minum
dari daun lontar yang dinamakan “Sapat” atau “Hai”, sehingga lokasi tersebut
dinamakan Uisapat saat ini dikenal dengan Oesapa. Setelah melanjutkan
perjalanan kelompok satu bertemu dengan anggota rombongan Lai-topan yang sudah
lama tinggal menetap di kaisalun dan Buni Baun. Atau Buni Baun berarti
terlindung (tersembunyi dan aman). Di lokasi ini dulu kala terdapat
gua (liang). Lokasi Buni Baun berkembang menjadi kampung yang
disebut Buin Baun. Saat ini kampung itu dikenal dengan nama Bonipoi.
Kelompok Dua berjumlah dua puluh
empat kepala keluarga, yaitu Solini; Hlena Sabu; Putis-Lulut; Belis-Mau; Is-Mau;
Lai-Silap; Buit-Lena; Lasi-Kodat; Tiu-Muli; Hlena-Mui; Lai-Bahas; Lai-Kuni;
Buit-Bissi; Bis-Tolen: Koe-Slulat; Bilis-Tolen; Bi-Musuh; Bal-Mae; Bal-Somang
dan Mes-Tuni. Kelompok ini dipimpin langsung oleh Lissin-Bissing (Lissin Lai
Lai Bissi). Menempuh daratan berbukit. Rombongan tersebut beristirahat sambil
makan disebut ‘Ka”, sedang bekal yang dibawa untuk dimakan selama perjalanan
disebut “Biti”, lokasi untuk makan bersama dekat dengan sumber air yang
berlimpah yang ditandai dengan nama “Ui-Ka-Biti”. Tempat itu sekarang dinamakan
Oekabiti. Kemudian rombongan meneruskan perjalan melalui kampung Batulesa,
Uibatu, Tapa, Uitalu, dan Naioni. Dari Naioni rambongan tiba di kampung Petu
(berasal dari kata “Pentu” artinya pantat kering). Di tempat tersebut suara
yang diteriakkan akan memantul kembali (Echo) dari sebuah batu yang disebut
“Batu Fala” artinya batu bersuara, saat ini dikenal dengan nama Fatukoa dalam
bahasa Timor, Fatukoa artinya Batu Berteriak.
Pada perjalanan selanjutnya Kelompok
satu bertemu dengan Kelompok Dua dikampung Liliba. Kampung ini diberi nama
Liliba karena terdapat kali (sungai yang aliran airnya sangat deras, tidak ada
jembatan sehingga anggota rombongan takut menyeberang). Kata “Li-li”adalah
sebuah isyarat artinya takut-takut; “Ba” artinya air yang mengalir, dengan
demikian “Liliba” diartikan Takut Menyebarang Banjir Air Kali yang Deras.
Ditempat itu Lissin lai Bissi memberikan tempat tinggal pada keluarga
Lasikodat. Tempat itu ditunjuk mulai dari Uibatu sampai Pantai Tenau termasuk
Bolok. Keluarga Nusnatun diberi tempat bernama Tuak Natun (Wilayah Bakunase –
Batu Plat). Sebagai tanda peringatan atau kenangan bagi leluhur orang Helong
maka pada masa pemerintahan Bupati Kupang W.CH. Oematan di kampong Bonipoi,
disampaing Barat Gereja Katolik diberi nama jalan “Jalan Semau”. Nama Buni Baun
(Buin Baun) sangat popular bagi orang-orang Helong sehingga pada peristiwa adat
sering dimunculkan syair-syair adat. Demikian pula orang-orang Helong dari
Semau yang ingin datang ke Koepang, dikatakannya mau ke Buin Baun.
Berselang beberapa generasi Lissin
Bissing (Lissin lai bissin) bermukim di Boni Baun. Periode berikutnya rombongan
Lais-kodat (Lasi Kodat) menyusul, namun memilih tinggal diujung Tanjung (Lokasi
Kantor Syah Bandar dan Mercusuar). Saat itu masyarakat memiliki dan mengakui
tiga raja, yaitu Lain Kopan, Lissin Bissing dan Lais Kodat (Raja muda). Itulah
yang menjadi cikal bakal lahirnya Kampung Kupang Tempo Doeloe. Dari kisah ini
terungkap bahwa Lai Kopan adalah Raja Pertama. Tugas utamanya telah merintis
payung koordinasi kehidupan kemasyarakatan, pemerintahan dan perdagangan
tradisional serta keamanan lingkungan bagi warganya. Raja kedua adalah yaitu
Lissin Bissing (Lissin Lai Bissi) dinobatkan menggantikan bapaknya Lai Bissi
untuk memimpin tiga puluh lima kepala keluarga dan anggotanya. Namun setibanya
di Buni Baun, statusnya sebagai Raja menempati urutan kedua setelah Lai Topan
(Lai Kopan) yang sudah lebih dulu diakui masyarakatnya sebagai Raja.
Data menunjukkan Raja Lissin Bissing
dan putra mahkota Bissig lissin memangku jabatan pada masa prasejarah. Setelah
itu disusul Raja KoEn Lai Bissi yang bergelar KoEn Am Tuan (KoEn Besar).
Tergolong masa peralihan dari prasejarah memasuki masa sejarah. Menurut catatan
pada masa kekuasaan KoEn Lai Bissi dan periode kekuasaan raja-raja selanjutnnya
berjumlah 15 orang dan semuanya dari keturunan Lissin Bissin. Demikian pula
pada masa VOC/Pemerintahan Hindia Belanda terdapat 10 orang Raja dari keturunan
Lissin Bissin dianmtaranya yaitu Manas Bissi IV (1816-1826) kemudian Manas
Klomang Bissilisin urutan raja ke-6 tahun 1872 – 1882. Saat itu Raja Manas
Klomang Bissilisin memperkenalkan sonaf Kai salun dengan anam Sonaf 3.
Setelah Raja Manas Klomang Bissilisin, Jabatan sebagai Raja dipangku Leo
Manas Bissilisin ( 1882 – 1885 ) lalu Dean Manas Bissilisin (1885–1908) lalu
Soleman Pallo Bissilisin (1908–1911) dan urutan Raja ke-10 dijabat oleh Salmun
Pallo Bissilisin (1911–1917). Sesuai dengan penerapan system politik
pemerintahan Belanda maka periode berikutnya jabatan Raja diturunkan menjadi
Fettor.
Pada masa prasejarah didaratan Timor
bagian Indonesia terdapat 4 bahasa Daerah yaitu :
1. Bahasa Marae atau Buna, berdiam di Belu bagian Timur Laut berbatasan dengan Negara Timor Leste.
1. Bahasa Marae atau Buna, berdiam di Belu bagian Timur Laut berbatasan dengan Negara Timor Leste.
2. Bahasa Tetun,
di Belu sebagian Timor Tengah Utara
3. Bahasa Dawan,
di Timor Tengah Selatan dan sebagian Timor Tengah Utara.
4. Bahasa Helong,
masyarakatnya menempati Pulau Semau, Koepang Tengah (Kolhua, Bi Upu, Uihani,
Uilautsala, Kuan Boke, Bismarak); Koepang Barat (Bolok, Binael, Alak, Boenana,
Uimatnunu, Uilesa, dan sebagian Toblolong dan Klaibe).
Menurut Memorie Resident Karthaus
pada abad ke – 17 berturut-turut tiba Koepang, 4 rombongan suku, yaitu :
1. Suku Pitais
yang dari Takaeb dan Pasi (Swapraja Fatuleu). Kepalanya diangkat sebagai Raja
Koepang selaku Fettor. Diberi tempat kediaman di Polla (Oepura).
2. Suku Amaabi
dari Amanuban. Rombongan Amaabi diterima baik oleh Raja Koepang dan diberi
tempat tingat di dekat Kebon Raja di Bonipoi (Sebelah Gereja Katolik). Kelompok
ini membentuk kerajaan Amaabi Tambaring.
3. Suku Taebenu,
berasal dari pegunungan Mollo. Kepala suku diterima baik oleh Raja, diberi
tempat kediaman di Baumata, kemudian membentuk kerajaan Taebenu.
4. Suku Sonbai,
diutus oleh Sonbai Besar (Di Paeneno – O’enam). Kepalanya bernama Baki Bena
Sonbai. Rombongan diterima baik oleh Raja, diberi tempat di bukit sebelah Barat
Benteng Portugis (Sekarang Nunhila). Kemudian pindah ke Bakunase dan membentuk
kerajaan Sonbai kecil.
Awalnya Koepang Tempo Doeloe, bagi
orang Helong dinamakan “Kai Salun-Buni Baun”. Hal ini diketahui lewat sejarah
dan asal-usul kota Koepang. Adalah Raja Koen Bissi ll atau Koen Am Tuan
memerintah warganya untuk membangun pagar batu disekeliling pagar istana. Pagar
batu tersebut adalah batu Alam bersusun keatas berlapis empat. Kondisi tersebut
menurut bahasa Helong yaitu “PAN”. Oleh rakyat atau warga yang ini berurusan
atau menemui Raja Koen ditempat yang disebut PAN, sehingga sering disebut
“KOENPAN”. Dalam perkembangan penggunaan bahasa (ucapan) secara etimologis kata
‘’KoenPan” berubah menjadi “Koepang”, selanjutnya dengan ejaan baru maka
disesuaikan lagi menjadi “KUPANG”. Sebagai tanda penghormatan terhadap leluhur
Lai Bissi yakni moyang dari KoEn Lai Bissi maka oleh pemerintah Kabupaten
Kupang menggantikan nama Kampung Cina menjadi Kelurahan Lai Bissi Kopan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
22 tahun 1978 tanggal 18 September 1978 Kupang diresmikan menjadi Kota
Administrasi Kupang oleh Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud. Selanjutnya melalui
Undang Undang No. 5 tahun 1996 tanggal 25 April 1996, Kupang diresmikan sebagai
Kota Madya Daerah Tingkat II. Jabatan Walikota pertama dipegang oleh S. K.
Lerik.